Kamis, 15 Juli 2010

Kesetaraan Gender?

“Perempuan dan Politik di Indonesia”

Ada dimana kalangan perempuan dalam dunia politik di Indonesia? Bagaimana peran dan posisinya selama ini? Bagaimana perkembangannya saat ini? Mungkin kira-kira itulah pertanyaan yang akan mengemuka ketika kita berbicara mengenai peremouan dan politik di Indonesia. Gambaran umum dari partisipasi perempuan dan politik di Indonesia memperlihatkan representasi yang rendah dalam semua tingkat pengambilan keputusan, baik di tingkat eksekutif, yudikatif, maupun birokrasi, partai politik, bahkan kehidupan politik lainnya.

Partisipasi perempuan dalam bidang politik selama ini terkesan memainkan peran sekunder. Perempuan hanya dilihat sebagai pemanis, dan ini mencerminkan rendahnya pengetahuan perempuan tentang politik. Sangat sedikit politisi atau tokoh perempuan yang mempunyai pengetahuan luas tentang persoalan public yang dihadapi masyarakat Indonesia.

Isu-isu perempaun seperti kekerasan, kesehatan reproduksi, pelecehan seksual, gizi anak, dan lainnya yang sejenis rasanya memang bukan menjadi agenda utama bagi para penentu kebijakan. Yang terjadi justru dimensi kemanusiaan dari perempuan sebagai manusia yang harus dihargai hak-haknya justru ditempatkan pada wilayah yang marjinal.

Perempuan tetap menjadi mayoritas kelompok dalam masyarakat yang paling miskin dan tertindas. Berbagai kebijakan politik dan ekonomi di masa lalu, memperlihatkan dengan jelas betapa perempuan menanggung beban paling berat dan penderitaan atas nama pembangunan Nasional yang merupakan perpaduan antara proses pembangunan ekonomi dan pentingnya stabilitas politik.

Dalam Proses Demokratisasi, persoalan partisipasi politik perempuan yang lebih besar, reperesentasi dan persoalan akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di Indonesia. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia yang terdiri dari perempuan.

Memperbaiki kehidupan mereka untuk lepas dari kemiskinan, kebodohan dan keterbekangan serta memperlakukan mereka sebagai mitra sejajar. Demokrasi tanpa melibatkan perempuan di dalamnya, sudaH pasti itu bukan demokrasi yang sesungguhnya. Era reformasi sesungguhnya merupakan peluang emas untuk memajukan kepentingan perempuan dan memperjuangkan keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi.

Gender, Partisipasi Politik, dan Demokrasi

Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan adalah ide yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan ternyata memang sangat efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah ini. Terminologi publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran gender, dan stereotype, telah menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan laki-laki.

Akibat yang paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marjinalisasi dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal. Ini artinya, keberadaan perempuan dalam kehidupan politik formal di banyak tempat memperlihatkan gambaran yang tidak menggembirakan. Akar dari semua persoalan tersebut adalah budaya patriarki yang menghambat semua ruang gerak perempuan di semua bidang, termasuk bidang politik.



Politik menurut pengertian yang baru adalah yang juga ‘personal’ atau pribadi. The personal is political, demikian slogan yang terkenal dari kalangan feminis pada umumnya. Bagi mereka, setiap kegiatan di mana ada relasi kekuasaan, maka itulah politik. Relasi tersebut bisa ditemukan dalam wilayah privat maupun public.

Demokrasi berkaitan erat dengan politik. Konsep demokrasi berasal dari istilah politik yang berarti pemerintahan oleh rakyat. Didalamnya terkandung makna “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam terminology politik yang bias gender, untuk waktu yang lama, pengertian partisipasi “ dari rakyat, oleh rakyat, dan umtuk rakyat” hanya diartikan secara terbatas hanya untuk beberapa kalangan tertentu dalam masyarakat, dan tentu saja tidak termasuk perempuan di dalamnya.

Saat ini hak-hak politik bagi perempuan sudah banyak diakui, namun adanya hak-hak tersebut tidak menjamin adanya sistem poitik yang demokratis di mana asas partisipasi, representasi, dan akuntabilitas diberi makna sesungguhnya. Adanya keterwakilan perempuan di dalamnya, dan berbagai kebijakan yang muncul yang memiliki sensitivitas gender tidak serta merta terwujud meskipun hak politik perempuan sudah diakui. Perempuan sebagai warga Negara seharusnya dapat berpartisipasi secara mandiri dalam proses demokrasi ini.

Selama ini di Indonesia kita mendapati bahwa sebagian besar perempuan bahkan belum dapat membuat pilihan politiknya secara mandiri. Pilihan politik perempuan banyak dipengaruhi atau bahka ditentukan oleh suami, atasan, teman, atau keluarga. Padahal perempuan sebagai satu kategori politik pada dasarnya dapat berpartisipasi dalam bentuk tidak langsung yaitu sebagai wakil kelompok perempuan yang bisa merepresentasikan kepentingan kelompok mereka.

Keterwakilan perempuan adalah untuk menyuarakan kepentingan perempuan. Pada titik ini, yang banyak diabaikan oleh banyak kalangan, bahkan oleh kalangan perempuan sendiri, adalah bahwa kepentingan-kepentingan perempuan memang lebih baik disuarakan oleh perempuan sendiri karena mereka sesungguhnya paling mengerti kebutuhan perempuan. Dalam kerangka demokrasi yang representative, pandangan dari kelompok yang berbeda harus dipertimbangkan dalam memformulasikan keputusan dan kebijakan yang akan dibuat. Dominasi penafsiran, dan marjinalisasi kelompok tertentu tidak dibenarkan. Mempertimbangkan kepentingan perempuan dan melibatkan laki-laki dan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan adalah dasar dari kerangka demokrasi yang mendorong ke arah kesetaraan dan keadilan gender.

0 komentar:

Posting Komentar